Search

Rabu, 19 November 2008

...::: Rumput Ilalang :::...

Di sebuah tepian ladang, seorang anak memperhatikan ayahnya yang terus saja bekerja. Sang ayah terlihat menggemburkan tanah dengan cangkul, membaurkan pupuk di sekitar tanaman, dan membabat tumbuhan liar di sekitar ladang. Sesekali, sang ayah harus mencabut ilalang. Anak itu terus memperhatikan dengan heran.

“Kenapa ayah melakukan itu? Bukankah ilalang itu masih terlalu kecil untuk dicabut?” teriak si anak sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia membawakan air yang baru saja ia tuang ke sebuah gelas kayu. Sambil tangan kiri menghapus peluh, tangan kanan ayah anak itu meraih gelas dari tangan kecil anaknya.

“Anakku, inilah pekerjaan petani. Kelak kamu akan tahu,” jawab sang ayah singkat. Setelah minum, petani itu memanggul cangkul di dekatnya. “Hari sudah sore! Mari kita pulang, Nak!” ucap sang ayah sambil meraih pundak anak lelakinya itu.

Sepulang dari ladang, petani itu sakit. Hingga beberapa hari, ia dan anaknya tidak bisa ke ladang yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki, naik dan turun. Petani itu tampak gelisah. Ia seperti ingin memaksakan diri berangkat ke ladang.

“Ayah kenapa? Bukankah waktu itu ladangnya sudah ayah bersihkan, dipupuk, dan dipagar,” suara anak itu sambil membantu ayahnya bangun dari tempat tidur. “Itu belum cukup, Nak. Kelak kamu akan tahu!” ucap si petani sambil tertatih-tatih keluar rumah. Ia mengajak anaknya pergi ke ladang.

Setibanya di ladang, anak itu terperangah. Ia seperti tidak percaya apa yang dilihat. Hampir seluruh ladang ditutupi ilalang. Cabai dan tomat yang tumbuh mulai membusuk. Daun-daunnya pun dihinggapi ulat.

“Anakku, inilah yang ayah maksud tugas petani. Kini kamu paham, kenapa ayah gelisah. Karena seorang petani tidak cukup hanya menanam, menebar pupuk, dan memagar tanamannya. Tapi, ia juga harus merawat. Tiap hari, tiap saat!” jelas sang ayah sambil menatap sang anak yang masih terkesima dengan ilalang di sekitar ladang ayahnya.
**

Mereka yang bekerja sebagai pendidik. Sadar betul kalau tugasnya begitu penting, dan mulia. Berat karena tugas itu tidak cukup sekadar menanam ilmu dikepala peserta didiknya, tapi juga menebar media membentuk budi pekerti, dan memberinya pagar moral dari terjangan angin dan hewan perusak.

Seperti halnya ladang tanaman, Peserta didik bukan benda mati yang akan lurus-lurus saja kalau ditinggal pergi. Tanahnya hidup. Udara di sekitar pun dinamis. Yang akan tumbuh bukan saja tanaman yang diinginkan, tanaman liar seperti ilalang pun akan tumbuh subur merebut energi kesuburan ladang. Belum lagi telur-telur hama yang hinggap ke daun tanaman setelah berterbangan digiring angin.

Pendidik persis seperti seorang petani terhadap tanamannya. Ia sebenarnya sedang berlomba dengan ilalang dan hama. Kalau ia tidak sempat merawat, ilalang dan hama yang akan ambil alih. Kelak, jangan kecewa kalau buah-buah tanaman yang akan dipetik sudah lebih dulu membusuk. (ReIs)

Dari berbagai sumber

Read more...

>> Hujan <<

Ada kegundahan tersendiri yang dirasakan seekor anak katak ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

"Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik." jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu?" tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.

"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"
**

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, insya Allah, akan datang. Bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

Sumber : dari berbagai sumber

Read more...

Sponsor

Followers

About Me

Foto saya
tentang Kami, tanyakan pada sahabat, keluarga, atau Anak Kami

My Spirit

My Love To Spirit

  ©Create by ReIsonline.tk.